The Manuscript of Bilal ibn Rabah– H.A.L. Craig
Aku mendengar suara perbincangan, suara Umayah dengan suara yang lebih perlahan yang tak kukenal. Kucoba membuka mata, namun matahari sekarang berada di puncaknya, membutakan mataku. Mereka berbincang tentang uang, hal yang tak mengherankan. Di Makkah, uang menjadi candu, seakan isi perut manusia digerakkan oleh uang dan waktu dihargakan dalam dirham. Aku tak mau tahu. Kulanjutkan tidurku, aku tak ingin terbangun dalam perbudakan. Tak ingin hidup di bawah sorot mata mereka dan tak juga berada dalam jangkauan perintah mereka. Kutahu kini, sesuatu yang tidak pernah kutahu. Bahkan dalam kematian yang paling buruk pun manusia bisa berencana bagi sesamanya, Tuhan Maha Pemurah. Dia senantiasa menyimpan kasih sayang-Nya dalam jiwa-jiwa manusia.
Aku mendengar suara orang ketiga. Abu Sufyan yang menggenggam kekuasaan pada tangannya, berkata, “Ini menentang aturan sosial yang memperjual-belikan seorang budak dalam hukuman!” Aku berusaha mengumpulkan kesadaranku. Umayah kemudian menimpali, “Budak itu akan segera mati! Apabila Abu Bakar ingin membeli bangkai ini seratus dirham, adalah rejekiku yang tidak disangka-sangka.”
Nama baru telah diucapkan….Abu Bakar? Mengapa dia kemari? Walaupun menentang teriknya sinar matahari, aku berusaha membuka mataku. Untuk beberapa lama percakapan di sana terhenti. Kemudian sebuah suara yang tidak kukenal, semakin dekat dan memanggil namaku menyeberangi batas panas yang memisahkan aku dengan mereka.
Umayah berdiri di samping budaknya. “Budak ini telah menendang. Aku lihat dia menendang.” Kemudian dia berbisik ke dalam telingaku, “Bangun hai binatang hitam!”
Adalah sebuah pembalikan, begitulah paling tidak. Orang yang telah menendang-nendang dadaku berjam-jam, sekarang mendesak agar aku menguatkan diri untuk tetap bisa bernafas. Sungguh hidup ini lebih sebagai komedi daripada tawa ria.
Kemudian Umayah berbicara lagi, “Tendangannya telah menaikkan harganya, Abu Bakar. Sekarang harganya menjadi dua kali lipat, serahkan uang kepadaku dua ratus dirham dan bawalah dia!”
Mereka mengangkat batu yang menindihku dan melepaskan ikatannya. Bilal telah dijual dan dibeli kembali…hanya dalam jangka satu menit. Seorang laki-laki muda menolongku untuk berdiri. Pertama aku mendapat kesulitan melihatnya. Baru kemudian aku mengenalinya. Dialah Zaid, anak angkat Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallam]. Aku tak mengatakan apa-apa. Semua keinginanku lenyap. Dia kemudian mengatakan, “Bilal, engkau telah dibebaskan dari perbudakan.”
Umayah menghitung uang sambil tertawa kecil. “Engkau membayar seharga dua ratus dirham untuknya padahal aku hanya menawarkan seratus dirham saja…” Meledaklah tawanya.
Kemudian aku memandang Abu Bakar, laki-laki yang membebaskanku. “Engkau telah menipu dirimu sendiri, Umayah, “ kata Abu Bakar. “Sekalipun engkau menawarkan seribu dirham untuknya, aku tetap akan membayarnya.” Sungguh hargaku ditinggikan setinggi langit! Abu Bakar mengangkatku dengan satu tangan, Zaid dengan tangan lainnya. Mereka bersama-sama menggotongku, dan aku berjalan setengah menapak. Aku tak bisa meringankan beban mereka, karena kedua kaki ini amat lemah untuk menyangga tubuhku.
Selama lima hari aku terbaring di sebuah kamar yang remang-remang, di rumah Abu Bakar, tertatih-tatih menuju ke arah kesadaran. Samar-samar kurasakan tubuhku diusap minyak, balsam dan handuk dingin. Suatu ketika, kala aku terbangun, aku melihat seorang laki-laki sedang berdoa di sudut kamar namun kemudian aku tertidur kembali. Di pagi yang keenam aku sudah bisa bangun dan melangkahkan kakiku yang pertama untuk menghirup udara segar. Abu Bakar menghidangkan susu kambing untukku. Kemudian ia berkata kepadaku, “Rasulullāh sendiri senantiasa berdoa di sampingmu hingga demammu hilang. Hanya setelah engkau cukup baik, ia meninggalkanmu. Aku belum pernah melihat orang begitu bahagia…’Bilal diterima masuk Islam’, katanya. Esok hari kita berdua akan pergi menjumpainya.”
Mereka mengatakan bahwa aku adalah orang ketiga yang menganut agama Islam. Suatu penghormatan yang paling besar yang mereka berikan padaku. Sesungguhnya aku hanyalah orang kesembilan. Ini memberiku cukup kebanggaan karena aku adalah yang paling hina diantara para sahabat pertama Nabi. Aku benar-benar telah diangkat dari tindihan sebuah batu.