Hadits Muadz bin Jabal (Syubhat Udzur Jahil)
- by
- Attamany
Banyak orang yang
mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan terhadap hukum dengan
berdalil dengan beberapa atsar yang mereka pahami secara salah, di antaranya
adalah atsar tentang sujud Mu'adz radliyallaahu'anhu kepada Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam saat beliau pulang dari Syam. Di Syam, beliau
melihat orang-orang ahli kitab sujud kepada para pembesar mereka (Haditsnya
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah). Orang-orang itu
mengatakan: “Ini kisah Mu'adz sujud kepada Rasulullah, namun beliau
tidak mengkafirkannya karena Mu'adz jahil akan hal itu, padahal sujud itu
adalah ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah adalah syirik. Sehingga
pelaku syirik akbar karena kebodohan tidaklah boleh dikafirkan. Bahkan Al Imam
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadits ini ada dalil yang
menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah
tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631)
Jawaban terhadap syubhat
tersebut: Di dalam bahasan yang lalu sudah dijelaskan dalil dari Al Qur'an, As
Sunnah dan Ijma para ulama yang menjelaskan secara gamblang bahwa para pelaku
syrik akbar karena kebodohan adalah tidak diudzur. Sehingga ketika kita mendapatkan
suatu atsar yang secara selintas menyelisihi kaidah di atas karena kekurangan
pemahaman kita terhadap kandungannya, maka tidak boleh secara serta merta kita
membenturkan atsar itu dengan kaidah yang sudah baku yang berdasarkan
dalil-dalil qath’iy yang banyak tersebut. Karena tidak mungkin wahyu
berbenturan dengan wahyu, tapi seharusnya yang dilakukan adalah mencari
kejelasan tentang muatan atsar tersebut, dalam hal ini adalah hadits Mu’adz
itu.
Di
dalam atsar itu dikisahkan bahwa Mu’adz sujud kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Sebelum menjelaskan isi
hadits Mu’adz, kita tanyakan kepada orang yang melontarkan syubhat tersebut
beberapa pertanyaan ini:
- Mungkinkah Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk beribadah kepada selain-Nya?
- Mungkinkah para malaikat melakukan kemusyrikan?
- Mungkinkah Allah melaknat dan mengkafirkan makhluk-Nya karena tidak beribadah kepada selain-Nya?
- Mungkinkah seorang rasul menerima peribadatan kepada dirinya?
- Mungkinkah seorang rasul beribadah kepada selain Allah?
- Dan mungkinkah terjadi penasakhan (penghapusan) hukum dalam masalah tauhidullah?
Orang itu pasti menjawab
semua pertanyaan ini dengan jawaban “Tidak mungkin.”
Maka
katakanlah kepada orang itu: Bukankah Allah memerintahkan malaikat agar sujud
kepada Adam, dan merekapun sujud kepadanya, namun Iblis tidak mau sujud kepada
Adam sehingga dia divonis kafir dan dilaknat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: ”Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kalian kepada
Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia
termasuk golongan yang kafir”. (Al Baqarah: 34). Apakah ini sujud ibadah atau sujud tahiyyah dan ikram (sujud
penghormatan)? Ini adalah sujud tahiyyah dan ikram.
Al
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: ”Sujud kepada Adam dalam rangka
penghormatan, pengagungan, pemuliaan dan ucapan selamat, dan ia adalah ketaatan
kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, karena ia adalah perealisasian perintah Allah Ta’alaa”.
(Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim:
1/100-101) dan beliau berkata
sebelumnya dalam halaman yang sama: ”Dan hal ini (maksudnya sujud tahiyyah)
adalah dahulu disyari’atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi kemudian
dinasakh di dalam syari’at kita…(kemudian beliau mengutarakan hadits Mu’adz)”.
Jadi sujud tahiyyah adalah syari’at bukan tauhid, karena tauhid tidak ada
penasakhan di dalamnya, karena ia (tauhid yang merupakan lawan syirik)
adalah hukum yang baku lagi mendasar yang tidak menerima perubahan dan
penasakhan. (Lihat Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahhab Khalaaf: 226).
Al
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata seraya menjelaskan bahwa sujud di sini
adalah sujud tahiyyah: ”Karena sesungguhnya sujud kepada manusia adalah
kadang boleh dalam sebagian syari’at sesuai apa yang dituntut oleh mashlahat. Dan ayat ini menunjukan bahwa sujud itu adalah
kepada Adam, dan begitu juga ayat yang lain yaitu firman-Nya:”Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr: 29) dan firman-Nya Ta’alaa: ”Dan ia menaikan
kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri
seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100) sehingga pengharaman
sujud (tahiyyah) kepada selain Allah di dalam syari’at Nabi kita shallallaahu ‘alaihi
wasallam itu tidaklah memestikan hal itu diharamkan di dalam syari’at-syari’at
yang lain. Dan makna sujud adalah meletakkan kening di atas bumi, dan inilah
pendapat Jumhur.” (Fathul Qadir: 1/86).
Semua ini merupakan
penjelasan bahwa ada yang dinamakan sujud tahiyyah (sujud penghormatan). Hal
ini merupakan salah satu syari’at yang diperbolehkan di dalam umat terdahulu,
dan ia itu di luar sujud ibadah yang berkaitan dengan syirik dan tauhid.
Allah
Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihissalam
bersama putera-puteranya sujud tahiyyah kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam: ”Dan
ia (Yusuf) menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya
sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100).
Al Imam Asy Syaukanirahimahullah
berkata: “Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf”
yaitu kedua orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya; dan maknanya: Bahwa mereka
merebahkan dirinya seraya sujud kepada Yusuf, dan hal itu adalah boleh di dalam
syari’at mereka sebagai tahiyyah (penghormatan)” (Fathul Qadir: 3/69).
Beliau
rahimahullah berkata juga: “Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy Syaikh
meriwayatkan dari Ibnu Ibnu Zaid, berkata: “Itu adalah sujud penghormatan
sebagaimana para malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam, dan bukan
sujud ibadah.” (Fathul Qadir: 3/71).
Syaikh
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ketika menjelaskan masalah-masalah yang
dikandung ayat ini: “Sujud mereka seluruhnya kepada Yusuf.” (Majmuu’ Mu-allafat Asy Syaikh Muhammad Ibnu
Abdil Wahhab, Kitab Fadlaailul Qur’an Wat Tafsir:2/137), yaitu mereka sujud tahiyyah kepada Yusuf.
Al
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: ”Dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,” yaitu sujud kepadanya;
kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, dan mereka itu berjumlah sebelas
orang”. Dan berkata Yusuf: ”Wahai
ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu,” yaitu yang pernah diceritakan
kepada ayahnya dahulu ”Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (Yusuf: 4), di
mana hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah diperbolehkan di dalam syari’at
mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada orang besar maka mereka sujud
kepadanya, dan hal ini terus diperbolehkan berjalan sejak zaman Adam sampai
syari’at Musa ‘alaihissalam, kemudian sujud ini diharamkan di dalam millah
(Muhammad) ini, dan Allah menjadikannya khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
Ini adalah isi ucapan Qatadah dan ulama (salaf) lainnya. Di dalam hadits
disebutkan bahwa ketika Mu’adz tiba di Syam, ternyata ia mendapatkan mereka
(ahli kitab) sujud kepada para uskup mereka, kemudian tatkala ia sujud kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bertanya: “Apa-apaan ini wahai Mu’adz?“ Maka
ia menjawab: “Sesungguhnya saya melihat mereka sujud kepada para uskup
mereka, sedangkan engkau adalah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu
wahai Rasulullah.” Maka beliau berkata: ”Seandainya
saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya
perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami
terhadapnya.” Dan di dalam hadits lain disebutkan bahwa Salman berjumpa
dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di suatu jalan di Madinah, sedangkan
Salman ini adalah baru masuk Islam, maka ia sujud kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam, maka beliau berkata: ”Janganlah kamu wahai Salman bersujud
kepadaku, tapi bersujudlah kepada Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak akan pernah
mati.” Dan maksudnya adalah bahwa hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah
boleh di dalam syari’at mereka, oleh sebab itu mereka (orang tua Yusuf dan
saudara-saudaranya) sujud kepadanya.” ( Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim:
1/597).
Perhatikanlah wahai
saudaraku, bahwa para ulama salaf menjelaskan kepada kita bahwa sujud itu ada 2
macam, sujud IBADAH dan sujud TAHIYYAH:
- Sujud ibadah adalah sujud yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa merupakan syirik akbar yang tidak mungkin ada penasakhan tentang hukumnya dan yang tidak mungkin boleh di dalam syari’at nabi manapun.
- Sedangkan sujud tahiyyah adalah yang berkaitan dengan syari’at halal dan haram yang bisa berbeda hukumnya antara satu nabi dengan nabi yang lainnya, dan yang bisa masuk di dalamnya pintu nasakh dan mansukh, dan tidak berkaitan dengan syirik akbar atau dengan tauhid, serta orang yang tidak mengetahui dalil pengharamannya adalah diudzur.
Sedangkan
hadits Mu’adz ini adalah berkaitan dengan sujud tahiyyah sebagaimana uraian
ulama salaf di atas, bukan tentang sujud ibadah yang bila dipalingkan kepada
selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa adalah merupakan syirik akbar. Sehingga jelaslah bahwa menempatkan hadits Mu’adz
sebagai dalil pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan adalah termasuk
sikap menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan itu bukan manhaj salaf.
Manakah slogan ”harus memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai manhaj salaf”
yang diklaim oleh orang-orang yang mengaku pengikut salaf yang berdalil dengan
hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, sedangkan
mereka sama sekali tidak mengutarakan ucapan seorang salaf -pun tentang
penjelasan hadits Mu’adz ini?-
Perhatikanlah
ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan
sujud yang ada di dalam hadits Mu’adz ini, beliau menjelaskan bahwa sujud Mu’adz
ini adalah sujud tahiyyah: ”…sampai-sampai (Allah) melarang melakukan (hal
yang menyerupai) ibadah dalam rangka tahiyyah dan ikraam (penghormatan) kepada
makhluk, oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang Mu’adz dari
sujud kepadanya dan beliau berkata kepadanya: “Seandainya saya boleh
memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita
untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya” dan
beliau melarang dari membungkuk di dalam penghormatan, serta melarang mereka
dari berdiri di belakangnya di dalam shalat sedangkan beliau berdiri.” (Majmuu Al Fatawaa: 1/75).
Di dalam catatan kaki Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah
karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid
Ridla berkata: “Sujud itu hanyalah menjadi ibadah dengan sebab penetapan
dari syari’at, dan ia itu dahulu adalah adat kebiasaan di dalam tahiyyah
(penghormatan), dan termasuk contohnya adalah sujud (Nabi) Ya’qub dan
putera-puteranya kepada Yusuf ‘alaihissalam.”(Kitab Al Jawahir Al
Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: 17)
Adapun
ucapan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah: “Di dalam hadits ini ada dalil
yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan
adalah tidak kafir”. (Nailul
Authar: 6/631). Beliau tidak mengatakan
bahwa barangsiapa melakukan syirik akbar karena kebodohan maka dia tidak kafir,
tapi beliau mengatakan “bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan
adalah tidak kafir”, sedangkan beliau berbicara tentang hadits yang
menjelaskan larangan sujud tahiyyah kepada selain Allah. Maka dhalimlah bila
kita menisbatkan pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan kepada beliau
rahimahullah dengan hanya bersandar kepada ucapannya yang samar. Seharusnya
kita berhati-hati, karena beliau sedang mengutarakan sujud tahiyyah yang
berkaitan dengan syari’at bukan berkaitan dengan syirik akbar. Justeru ucapan
beliau rahimahullah yang sangat tegas menyatakan bahwa pelaku syirik akbar
karena kejahilan itu tidak diudzur, beliau berkata: ”Bila kamu mengatakan:
“Orang-orang yang mengkultuskan mayit itu tidak mengetahui bahwa apa yang
mereka lakukan itu adalah syirik, bahkan seandainya seseorang di antara mereka
dihadapkan dengan ancaman pedang sekalipun tentu dia tidak akan mengakui bahwa
dia itu menyekutukan Allah, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa
hal itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya.” Maka saya katakan:
Realitanya memang seperti apa yang kamu katakan, tapi tidak samar lagi atas
kamu apa yang sudah baku di dalam sebab-sebab kemurtadan, bahwa di
dalam keterbuktian kemurtadan itu tidaklah disyaratkan adanya pengetahuan…” (Ad Durr An Nadliid: 82).
Beliau
rahimahullah juga berkata ketika mengingkari pengudzuran kejahilan di dalam
syirik akbar: “Sesungguhnya kelompok-kelompok kafir seluruhnya dan para
pelaku syirik semuanya, hanyalah terjatuh ke dalam kekafiran dan ke dalam sikap
penolakan terhadap al haq serta kebersikukuhan mereka di atas kebatilannya
adalah dengan sebab keyakinan (yang mereka anut) dalam kebodohan.” (Ad Durr An Nadliid: 111).
Beliau
rahimahullah juga berkata seraya menukil ucapan Abul Wafaa Ali Ibnu ‘Uqail Al
Baghdadi rahimahullah dan mengakuinya: ”Dan berkata Abul Wafaa Ibnu ‘Uqail
di dalam Al Funuun: ”Tatkala taklif-taklif (syari’at) itu dirasa berat oleh
orang-orang bodoh dan para pengekor, maka mereka berpaling dari
tuntunan-tuntunan syari’at kepada sikap pengagungan ajaran-ajaran yang mereka
ada-adakan sendiri, sehingga ajaran-ajaran itu terasa ringan atas mereka,
karena dengannya mereka tidak masuk di dalam perintah selain diri mereka. Dan mereka itu adalah kafir menurut saya dengan
sebab ajaran-ajaran ini.”
(Ad Durr An Nadliid: 119).
Jadi begitulah ucapan
beliau yang jelas lagi tidak ada kesamaran di dalamnya.
Bahkan Asy Syaikh Abu
Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata di dalam Risalah Al Jawab Al
Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: “Dan berkata juga Asy Syaukani: “Dan bila sudah
terbukti jelas apa yang telah kami utarakan prihal orang yang menghina Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka lebih utama lagi orang yang menghina Allah
tabaaraka wa ta’alaa atau menghina Kitab-Nya atau (menghina) Islam atau mencela
dein-Nya. Dan kafirnya orang yang melakukan hal ini adalah tidak membutuhkan
kepada burhaan (dalil)”. Bahkan lihatlah ucapan Al Imam Asy Syaukani
sendiri di dalam salah satu tulisannya yang di dalamnya beliau mengkafirkan
mayoritas penduduk Yaman di zamannya dan memvonis mereka murtad dari Islam, dan
beliau menuturkan dalil-dalil terhadap hal ini. Umpamanya beliau berkata: “Dan
telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata,” Tidak
ada pemisah di antara seorang hamba dengan kekafiran kecuali meninggalkan
shalat,” jadi orang yang meninggalkan shalat dari kalangan masyarakat adalah
kafir, dan sama kafirnya juga orang yang mengerjakan shalat sedangkan dia tidak
benar di dalam dzikir-dzikir dan rukun-rukunnya yang mana shalat tidak sah
kecuali dengannya, karena dia itu meninggalkan hal fardlu yang tergolong
kefardluan terpenting atas dirinya dan (meninggalkan) kewajiban yang tergolong
kewajiban paling besar, yaitu mengetahui apa yang mana shalat tidak sah kecuali
dengannya…” sampai beliau berkata: “Dan sering sekali masyarakat itu
mendatangkan ucapan-ucapan kekafiran, di mana dia mengatakan: Dia Yahudi,
hendaklah dia mengerjakan ini atau itu. Dan sesekali dia murtad dengan sebab
ucapan dan sesekali (dia murtad) dengan sebab perbuatan sedangkan dia tidak menyadarinya.
Dan dia mencerai isterinya sampai baa-in (lepas total) darinya dengan
ucapan-ucapan yang selalu dia ucapakan”. Dan beliau (Al Imam) Asy Syaukani
berkata juga: “Dan tidak diragukan lagi bahwa tingkah mereka melakukan
hal-hal besar semacam ini adalah tergolong sebab-sebab terbesar yang
menyebabkan mereka kafir dan melenyapkan keimanan, yang wajib atas setiap
individu kaum muslimin untuk mengingkarinya, dan wajib atas setiap orang yang
mampu untuk memerangi para pelakunya sampai mereka kembali kepada dienul Islam
yang dengannya Allah mengutus penutup para rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka lihatlah semoga Allah merahmatimu,
bagaimana penulis (yaitu Asy Syaukani) berbicara di sini tentang syirik akbar
dan beliau memvonis pelakunya sebagai orang musyrik, dan bahwa kekafirannya
tidak butuh kepada dalil…! Dan lihatlah bagaimana Asy Syaukani mengkafirkan
mayoritas penduduk Yaman padahal mereka itu menunaikan shalat, akan tetapi
mereka tidak mengetahui bahwa shalat mereka itu tidak sah, sehingga menurut
beliau status mereka itu sama dengan status orang yang tidak shalat. Dan
bagaimana bahwa di antara mereka itu ada yang murtad dengan sebab ucapan atau
perbuatan sedangkan dia tidak menyadari bahwa dirinya itu telah kafir dengan
sebab hal itu, dan hal ini tidaklah menjadi udzur dalam memvonis dia sebagai
orang kafir. Bahkan Asy Syaukani memandang bahwa mereka itu berada di luar
dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,
sehingga wajib untuk memerangi mereka atas setiap orang yang mampu sampai
mereka kembali kepada dienullah! Fa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” (Aqidatul Muwahhidin, Al Jawabul Mufid: 375).
Ini
adalah penjelasan berkaitan dengan jawaban terhadap orang-orang yang berdalih
dengan hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari dengan kata-kata yang bijak...