BERAMAL DENGAN NYATA, SEBELUM DATANG SUATU HARI YANG BELUM NYATA

Attamany

Aku menanggung pasukan maka aku tak mengapa Aku ‘kan sambut ia atau pun yang selainnya Aku miliki jiwa merindukan sesuatu yang mulia Akan binasa kelak atau akan kutunaikan hasratnya

Hadits Muadz bin Jabal (Syubhat Udzur Jahil)


Banyak orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan terhadap hukum dengan berdalil dengan beberapa atsar yang mereka pahami secara salah, di antaranya adalah atsar tentang sujud Mu'adz radliyallaahu'anhu kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam saat beliau pulang dari Syam. Di Syam, beliau melihat orang-orang ahli kitab sujud kepada para pembesar mereka (Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah). Orang-orang itu mengatakan: “Ini kisah Mu'adz sujud kepada Rasulullah, namun beliau tidak mengkafirkannya karena Mu'adz jahil akan hal itu, padahal sujud itu adalah ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah adalah syirik. Sehingga pelaku syirik akbar karena kebodohan tidaklah boleh dikafirkan. Bahkan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631)

Jawaban terhadap syubhat tersebut: Di dalam bahasan yang lalu sudah dijelaskan dalil dari Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma para ulama yang menjelaskan secara gamblang bahwa para pelaku syrik akbar karena kebodohan adalah tidak diudzur. Sehingga ketika kita mendapatkan suatu atsar yang secara selintas menyelisihi kaidah di atas karena kekurangan pemahaman kita terhadap kandungannya, maka tidak boleh secara serta merta kita membenturkan atsar itu dengan kaidah yang sudah baku yang berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang banyak tersebut. Karena tidak mungkin wahyu berbenturan dengan wahyu, tapi seharusnya yang dilakukan adalah mencari kejelasan tentang muatan atsar tersebut, dalam hal ini adalah hadits Mu’adz itu.

Di dalam atsar itu dikisahkan bahwa Mu’adz sujud kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebelum menjelaskan isi hadits Mu’adz, kita tanyakan kepada orang yang melontarkan syubhat tersebut beberapa pertanyaan ini:

  • Mungkinkah Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk beribadah kepada selain-Nya?
  • Mungkinkah para malaikat melakukan kemusyrikan?
  • Mungkinkah Allah melaknat dan mengkafirkan makhluk-Nya karena tidak beribadah kepada selain-Nya?
  • Mungkinkah seorang rasul menerima peribadatan kepada dirinya?
  • Mungkinkah seorang rasul beribadah kepada selain Allah?
  • Dan mungkinkah terjadi penasakhan (penghapusan) hukum dalam masalah tauhidullah?


Orang itu pasti menjawab semua pertanyaan ini dengan jawaban “Tidak mungkin.”

Maka katakanlah kepada orang itu: Bukankah Allah memerintahkan malaikat agar sujud kepada Adam, dan merekapun sujud kepadanya, namun Iblis tidak mau sujud kepada Adam sehingga dia divonis kafir dan dilaknat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: ”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir”. (Al Baqarah: 34). Apakah ini sujud ibadah atau sujud tahiyyah dan ikram (sujud penghormatan)? Ini adalah sujud tahiyyah dan ikram.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: ”Sujud kepada Adam dalam rangka penghormatan, pengagungan, pemuliaan dan ucapan selamat, dan ia adalah ketaatan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, karena ia adalah perealisasian perintah Allah Ta’alaa”. (Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim: 1/100-101) dan beliau berkata sebelumnya dalam halaman yang sama: ”Dan hal ini (maksudnya sujud tahiyyah) adalah dahulu disyari’atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi kemudian dinasakh di dalam syari’at kita…(kemudian beliau mengutarakan hadits Mu’adz)”. Jadi sujud tahiyyah adalah syari’at bukan tauhid, karena tauhid tidak ada penasakhan di dalamnya, karena ia (tauhid yang merupakan lawan syirik) adalah hukum yang baku lagi mendasar yang tidak menerima perubahan dan penasakhan. (Lihat Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahhab Khalaaf: 226).

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata seraya menjelaskan bahwa sujud di sini adalah sujud tahiyyah: ”Karena sesungguhnya sujud kepada manusia adalah kadang boleh dalam sebagian syari’at sesuai apa yang dituntut oleh mashlahat. Dan ayat ini menunjukan bahwa sujud itu adalah kepada Adam, dan begitu juga ayat yang lain yaitu firman-Nya:”Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr: 29) dan firman-Nya Ta’alaa: ”Dan ia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100) sehingga pengharaman sujud (tahiyyah) kepada selain Allah di dalam syari’at Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidaklah memestikan hal itu diharamkan di dalam syari’at-syari’at yang lain. Dan makna sujud adalah meletakkan kening di atas bumi, dan inilah pendapat Jumhur.” (Fathul Qadir: 1/86).

Semua ini merupakan penjelasan bahwa ada yang dinamakan sujud tahiyyah (sujud penghormatan). Hal ini merupakan salah satu syari’at yang diperbolehkan di dalam umat terdahulu, dan ia itu di luar sujud ibadah yang berkaitan dengan syirik dan tauhid.

Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bersama putera-puteranya sujud tahiyyah kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam: ”Dan ia (Yusuf) menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100).
Al Imam Asy Syaukanirahimahullah berkata: “Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf” yaitu kedua orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya; dan maknanya: Bahwa mereka merebahkan dirinya seraya sujud kepada Yusuf, dan hal itu adalah boleh di dalam syari’at mereka sebagai tahiyyah (penghormatan)” (Fathul Qadir: 3/69).

Beliau rahimahullah berkata juga: “Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Ibnu Zaid, berkata: “Itu adalah sujud penghormatan sebagaimana para malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam, dan bukan sujud ibadah.” (Fathul Qadir: 3/71).

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ketika menjelaskan masalah-masalah yang dikandung ayat ini: “Sujud mereka seluruhnya kepada Yusuf.” (Majmuu’ Mu-allafat Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, Kitab Fadlaailul Qur’an Wat Tafsir:2/137), yaitu mereka sujud tahiyyah kepada Yusuf.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: ”Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,” yaitu sujud kepadanya; kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, dan mereka itu berjumlah sebelas orang”. Dan berkata Yusuf: ”Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu,” yaitu yang pernah diceritakan kepada ayahnya dahulu ”Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (Yusuf: 4), di mana hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah diperbolehkan di dalam syari’at mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada orang besar maka mereka sujud kepadanya, dan hal ini terus diperbolehkan berjalan sejak zaman Adam sampai syari’at Musa ‘alaihissalam, kemudian sujud ini diharamkan di dalam millah (Muhammad) ini, dan Allah menjadikannya khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Ini adalah isi ucapan Qatadah dan ulama (salaf) lainnya. Di dalam hadits disebutkan bahwa ketika Mu’adz tiba di Syam, ternyata ia mendapatkan mereka (ahli kitab) sujud kepada para uskup mereka, kemudian tatkala ia sujud kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bertanya: Apa-apaan ini wahai Mu’adz?Maka ia menjawab: “Sesungguhnya saya melihat mereka sujud kepada para uskup mereka, sedangkan engkau adalah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu wahai Rasulullah.” Maka beliau berkata: ”Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya.” Dan di dalam hadits lain disebutkan bahwa Salman berjumpa dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di suatu jalan di Madinah, sedangkan Salman ini adalah baru masuk Islam, maka ia sujud kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata: ”Janganlah kamu wahai Salman bersujud kepadaku, tapi bersujudlah kepada Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak akan pernah mati.” Dan maksudnya adalah bahwa hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah boleh di dalam syari’at mereka, oleh sebab itu mereka (orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya) sujud kepadanya.” ( Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim: 1/597).

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa para ulama salaf menjelaskan kepada kita bahwa sujud itu ada 2 macam, sujud IBADAH dan sujud TAHIYYAH:

  • Sujud ibadah adalah sujud yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa merupakan syirik akbar yang tidak mungkin ada penasakhan tentang hukumnya dan yang tidak mungkin boleh di dalam syari’at nabi manapun.
  • Sedangkan sujud tahiyyah adalah yang berkaitan dengan syari’at halal dan haram yang bisa berbeda hukumnya antara satu nabi dengan nabi yang lainnya, dan yang bisa masuk di dalamnya pintu nasakh dan mansukh, dan tidak berkaitan dengan syirik akbar atau dengan tauhid, serta orang yang tidak mengetahui dalil pengharamannya adalah diudzur.


Sedangkan hadits Mu’adz ini adalah berkaitan dengan sujud tahiyyah sebagaimana uraian ulama salaf di atas, bukan tentang sujud ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa adalah merupakan syirik akbar. Sehingga jelaslah bahwa menempatkan hadits Mu’adz sebagai dalil pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan adalah termasuk sikap menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan itu bukan manhaj salaf. Manakah slogan ”harus memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai manhaj salaf” yang diklaim oleh orang-orang yang mengaku pengikut salaf yang berdalil dengan hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, sedangkan mereka sama sekali tidak mengutarakan ucapan seorang salaf -pun tentang penjelasan hadits Mu’adz ini?-

Perhatikanlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan sujud yang ada di dalam hadits Mu’adz ini, beliau menjelaskan bahwa sujud Mu’adz ini adalah sujud tahiyyah: ”…sampai-sampai (Allah) melarang melakukan (hal yang menyerupai) ibadah dalam rangka tahiyyah dan ikraam (penghormatan) kepada makhluk, oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang Mu’adz dari sujud kepadanya dan beliau berkata kepadanya: “Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya” dan beliau melarang dari membungkuk di dalam penghormatan, serta melarang mereka dari berdiri di belakangnya di dalam shalat sedangkan beliau berdiri.” (Majmuu Al Fatawaa: 1/75).

Di dalam catatan kaki Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla berkata: “Sujud itu hanyalah menjadi ibadah dengan sebab penetapan dari syari’at, dan ia itu dahulu adalah adat kebiasaan di dalam tahiyyah (penghormatan), dan termasuk contohnya adalah sujud (Nabi) Ya’qub dan putera-puteranya kepada Yusuf ‘alaihissalam.”(Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: 17)

Adapun ucapan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631). Beliau tidak mengatakan bahwa barangsiapa melakukan syirik akbar karena kebodohan maka dia tidak kafir, tapi beliau mengatakan “bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”, sedangkan beliau berbicara tentang hadits yang menjelaskan larangan sujud tahiyyah kepada selain Allah. Maka dhalimlah bila kita menisbatkan pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan kepada beliau rahimahullah dengan hanya bersandar kepada ucapannya yang samar. Seharusnya kita berhati-hati, karena beliau sedang mengutarakan sujud tahiyyah yang berkaitan dengan syari’at bukan berkaitan dengan syirik akbar. Justeru ucapan beliau rahimahullah yang sangat tegas menyatakan bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidak diudzur, beliau berkata: ”Bila kamu mengatakan: “Orang-orang yang mengkultuskan mayit itu tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah syirik, bahkan seandainya seseorang di antara mereka dihadapkan dengan ancaman pedang sekalipun tentu dia tidak akan mengakui bahwa dia itu menyekutukan Allah, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa hal itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya.” Maka saya katakan: Realitanya memang seperti apa yang kamu katakan, tapi tidak samar lagi atas kamu apa yang sudah baku di dalam sebab-sebab kemurtadan, bahwa di dalam keterbuktian kemurtadan itu tidaklah disyaratkan adanya pengetahuan…” (Ad Durr An Nadliid: 82).

Beliau rahimahullah juga berkata ketika mengingkari pengudzuran kejahilan di dalam syirik akbar: “Sesungguhnya kelompok-kelompok kafir seluruhnya dan para pelaku syirik semuanya, hanyalah terjatuh ke dalam kekafiran dan ke dalam sikap penolakan terhadap al haq serta kebersikukuhan mereka di atas kebatilannya adalah dengan sebab keyakinan (yang mereka anut) dalam kebodohan.” (Ad Durr An Nadliid: 111).

Beliau rahimahullah juga berkata seraya menukil ucapan Abul Wafaa Ali Ibnu ‘Uqail Al Baghdadi rahimahullah dan mengakuinya: ”Dan berkata Abul Wafaa Ibnu ‘Uqail di dalam Al Funuun: ”Tatkala taklif-taklif (syari’at) itu dirasa berat oleh orang-orang bodoh dan para pengekor, maka mereka berpaling dari tuntunan-tuntunan syari’at kepada sikap pengagungan ajaran-ajaran yang mereka ada-adakan sendiri, sehingga ajaran-ajaran itu terasa ringan atas mereka, karena dengannya mereka tidak masuk di dalam perintah selain diri mereka. Dan mereka itu adalah kafir menurut saya dengan sebab ajaran-ajaran ini.” (Ad Durr An Nadliid: 119).

Jadi begitulah ucapan beliau yang jelas lagi tidak ada kesamaran di dalamnya.

Bahkan Asy Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata di dalam Risalah Al Jawab Al Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: “Dan berkata juga Asy Syaukani: “Dan bila sudah terbukti jelas apa yang telah kami utarakan prihal orang yang menghina Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka lebih utama lagi orang yang menghina Allah tabaaraka wa ta’alaa atau menghina Kitab-Nya atau (menghina) Islam atau mencela dein-Nya. Dan kafirnya orang yang melakukan hal ini adalah tidak membutuhkan kepada burhaan (dalil)”. Bahkan lihatlah ucapan Al Imam Asy Syaukani sendiri di dalam salah satu tulisannya yang di dalamnya beliau mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman di zamannya dan memvonis mereka murtad dari Islam, dan beliau menuturkan dalil-dalil terhadap hal ini. Umpamanya beliau berkata: “Dan telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata,” Tidak ada pemisah di antara seorang hamba dengan kekafiran kecuali meninggalkan shalat,” jadi orang yang meninggalkan shalat dari kalangan masyarakat adalah kafir, dan sama kafirnya juga orang yang mengerjakan shalat sedangkan dia tidak benar di dalam dzikir-dzikir dan rukun-rukunnya yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya, karena dia itu meninggalkan hal fardlu yang tergolong kefardluan terpenting atas dirinya dan (meninggalkan) kewajiban yang tergolong kewajiban paling besar, yaitu mengetahui apa yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya…” sampai beliau berkata: “Dan sering sekali masyarakat itu mendatangkan ucapan-ucapan kekafiran, di mana dia mengatakan: Dia Yahudi, hendaklah dia mengerjakan ini atau itu. Dan sesekali dia murtad dengan sebab ucapan dan sesekali (dia murtad) dengan sebab perbuatan sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan dia mencerai isterinya sampai baa-in (lepas total) darinya dengan ucapan-ucapan yang selalu dia ucapakan”. Dan beliau (Al Imam) Asy Syaukani berkata juga: “Dan tidak diragukan lagi bahwa tingkah mereka melakukan hal-hal besar semacam ini adalah tergolong sebab-sebab terbesar yang menyebabkan mereka kafir dan melenyapkan keimanan, yang wajib atas setiap individu kaum muslimin untuk mengingkarinya, dan wajib atas setiap orang yang mampu untuk memerangi para pelakunya sampai mereka kembali kepada dienul Islam yang dengannya Allah mengutus penutup para rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka lihatlah semoga Allah merahmatimu, bagaimana penulis (yaitu Asy Syaukani) berbicara di sini tentang syirik akbar dan beliau memvonis pelakunya sebagai orang musyrik, dan bahwa kekafirannya tidak butuh kepada dalil…! Dan lihatlah bagaimana Asy Syaukani mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman padahal mereka itu menunaikan shalat, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa shalat mereka itu tidak sah, sehingga menurut beliau status mereka itu sama dengan status orang yang tidak shalat. Dan bagaimana bahwa di antara mereka itu ada yang murtad dengan sebab ucapan atau perbuatan sedangkan dia tidak menyadari bahwa dirinya itu telah kafir dengan sebab hal itu, dan hal ini tidaklah menjadi udzur dalam memvonis dia sebagai orang kafir. Bahkan Asy Syaukani memandang bahwa mereka itu berada di luar dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sehingga wajib untuk memerangi mereka atas setiap orang yang mampu sampai mereka kembali kepada dienullah! Fa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.” (Aqidatul Muwahhidin, Al Jawabul Mufid: 375).

Ini adalah penjelasan berkaitan dengan jawaban terhadap orang-orang yang berdalih dengan hadits Mu’adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan.

Kemuliaan mampu diraih bukan dengan harta dan tahta, namun dengan mempelajari ilmu syar'i. Sehingga apabila kita telah mendapatkannya, maka insyaaAllah mampu membedakan antara haq dan bathil. Dakwah Tauhid adalah prioritas utama yang harus dihadapkan kepada umat, realisasi yang berat namun inilah sebuah kemuliaan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari dengan kata-kata yang bijak...

Galeri

Admin
0838 xxx xxx
Bogor, Indonesia

Kirim Pesan Untukku